Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ). Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢 Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤠Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu. Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi ...
Happy weekend! Minggu kemarin
bersama Totong, Vanny, dkk, kami liburan ke trans studio. (Akhirnya setelah
setahun lebih di Bandung, guys!) Ya,
walaupun harus dibayar dengan ‘amat sangat’ mahal. Bayangin, harga teh kotak
yang biasanya di supermarket hanya 2500, di sana dijual dengan harga 9000
rupiah per kotaknya!
O iya, di sana kami mendapat sebuah kartu yang
fungsinya kurang lebih mirip voucher pulsa gitu. Jika saldo habis, maka bisa diisi
ulang di counter2 yang tersedia. Kartu itulah yang digunakan sebagai alat
transaksi selama berada di dalam area trans studio, seperti membeli makanan
atau cinderamata.
Okey, kartu sudah di tangan, isi
tas telah disterilisasi dari makanan, bom, dan lain sebagainya. Saatnya
menikmati wahana ‘pemanasan’. Dan kamu tau apa yang dimaksud dengan wahana
‘Pemanasan’ itu?? Roller Coster, dengan jalur yang ekstrimnya
na’udzubilahimindzalik dan ketinggian yang tak sanggup terdefinisikan oleh
kata-kata.
Suasana menyenangkan yang
kubayangkan seperti dalam liputan Jelang Siang di TV, dengan presenter yang tak
henti mengumbar senyum kebahagiaan saat mencoba satu persatu wahana permainan,
hancur seketika. Kenyataannya, saat ini aku tak jauh beda dengan pelaku
kriminal yang digiring beramai-ramai menuju truk satpol (Aku tak bisa bayangkan
betapa anarkisnya teman-teman memaksaku saat itu) Untunglah, setelah melewati
serangkaian adegan dramatis dan sempat juga menjadi pusat perhatian, aku
berhasil lolos.
Tak sampai 1 menit. Teman-teman
yang semula ber-hahahihi menaiki jet closter maut itu kini kembali dengan
tangan gemetaran dan wajah pucat pasi. Kini giliran aku yang terpingkal melihat
mereka. Ketika kutanya pada Totong bagaimana rasanya?
“Seperti mau
mati” jawabnya dengan tangan yang masih gemetaran.
“Ah, lebaaayyy!” kataku, dan kembali terpingkal.
Wahana yang tak kalah lebay nya
adalah Hysteria. Mungkin karena namanya Hysteria, pengunjung yang menaiki
wahana tersebut diwajibkan untuk berteriak-teriak histeris. Padahal
permainannya sederhana saja, mereka hanya duduk dan kursi berjajar (dengan pengaman tentunya) Kursi
tersebut lalu bergerak naik-turun dengan ketinggian yang... yaa, kalau
dibandingkan jet closter tentunya Hysteria ini masih lumayan masuk akal lah!
Merasa punya nyali, aku segera
menarik tangan Ario Murti. Kenapa Ario Murti? Karena diantara teman-teman lain
dialah satu-satunya orang yang tingkat keberaniannya sama denganku alias nggak
berani-berani amat. Kami sukses ngeles dari paksaan teman-teman untuk duduk di
deret kursi depan bersama mereka dan memilih kursi belakang.
Kupikir kursi belakang lebih aman
dan bisa mengurangi efek ngeri terhadap ketinggian. Ternyata sama sekali tak
menjamin. Aku mulai panik. Kursi terpelanting ke puncak tertinggi, lalu dijatuhkan
dengan tiba-tiba. Rasanya seperti jatuh dari tebing yang curam. Persis di film
Jack and the bean yang baru-baru ini kutonton! Belum sempat kuredakan shockku.
Kursi kembali ditarik ke atas lalu dijatuhkan lagi. Kali ini lebih cepat,
bertubi-tubi, semakin cepat dan cepat lagi. Aku berteriak histeris tak karuan. Jantungku
serasa copot, tertinggal di langit-langit, sementara tubuhku menghujam jauh ke
bawah. Jika bukan dari besi, ingin sekali kulepas pengaman yang membelit
tubuhku, dan aku ingin meloncat seketika. Tapi aku tidak bisa. Aku berteriak
sempampuku. Kusebut nama ibu, dan orang-orang yang kusayangi. Aku mohon ampun
pada tuhan, seampun-ampunnya dengan berderai-derai airmata.
Seperti mimpi, akhirnya
penderitaan itu berakhir juga. Begitu petugas melepas besi pengaman dari
tubuhku, aku segera menghambur, mencengkeram lengan Totong, gemetaran dan masih
berderai airmata.
Meski begitu, aku nggak kapok loh
terhadap ketinggian. Melihat wahana wall climbing, nyaliku yang ciut kembali
tersulut. Lagipula kita bebas memilih tingkat ketinggian yang sesuai dengan
kemampuan.
Teman-teman nampak meragukanku. Akupun
terpaksa sesumbar bahwa aku ini jago sekali memanjat. Tapi memang benar kok,
waktu kecil aku ini hoby sekali memanjat berbagai jenis pohon. Mulai dari
rambutan, mangga, pepaya, jambu (Kalau kaktus belum pernah). Prestasiku yang
buruk dalam menaklukan wahana-wahana sebelumnya, tentu tidak dapat begitu saja dijadikan
tolok ukur.
Tali pengaman dan helm telah
terpasang (Yang masangin kakak ganteng berseragam pramuka :-P). Akupun
melambaikan tangan pada teman-teman layaknya artis yang sedang diliput
kegiatannya oleh infotaiment dan ditunggui para fansnya.
Dengan penuh keyakinan aku menuju
sisi wall clambing level 1, level paling rendah. Kakak ganteng berseragam
pramuka tiba-tiba menghadang di depanku. Wajahnya yang ganteng menjadi
kelihatan tidak bersahabat.
“Yang sini,
Mbak,” katanya sambil menunjuk dinding di sebelahnya, level 2, tingginya hampir
2X level 1.
Aku mendongak lebih ke atas
sambil menelan ludah. Itu sih, tinggi banget. Kulirik kembali dinding level 1
yang kelihatan cukup aman bagi perempuan lembut nan rapuh sepertiku.
“Saya mau naik yang ini saja.”
Aku berusaha menerobos tangan kakak ganteng berseragam pramuka. Tapi dia keukeh
menghalangiku.
“Nggak
bisa, Mbak!”
“Loh,
katanya bebas pilih levelnya.”
“Iya,
tapi bukan yang itu. Level 1 hanya khusus buat anak-anak!”
“Buat
anak-anak!!” ulangnya.
Aku
shock berat. Aku masih berusaha memohon agar diizinkan menaiki dinding level 1
sambil memasang wajah se anak-anak mungkin. Tapi tak berhasil. Kakak ganteng
berseragam pramuka hanya menatapku dingin, tak bergeming dari hadapanku.
Aku kembali
mendongak ke dinding level 2 sambil menimbang-nimbang. Jika aku menaiki dinding
itu, tak ada yang bisa menjamin, jantungku yang yang cuma satu ini bisa saja
jatuh sewaktu-waktu. Tapi jika tidak naik, pastinya aku akan jadi bulan-bulanan
teman-teman. Apalagi aku telah sesumbar sebelumnya.
Agaknya kakak
ganteng berseragam pramuka mulai tidak sabar. Ia mulai main kasar dengan
mendorongku agar segera naik. Aku panik dan berusaha menarik tubuhku. Adegan tarik
menarik itu terjadi cukup lama dan sengit. Hampir-hampir kutonjok wajahnya yang
ganteng itu. Untunglah aku berhasil melepaskan tali pengaman ditubuhku dan
memilih kabur.
Wahana ini
100% gagal kutaklukan. L
“Tenang, masih
ada wahana lain.” Vanny berusaha menghiburku. Sejak awal memang dia kelihatan
yang paling antusisas, heboh dan paling bahagia diantara pengunjung trans
studio lain.
(-_-“) Heran
deh, padahal sudah 3X dia ke tempat ini, sementara kami yang baru sekali nggak
heboh-heboh amat.
“Nah, yang itu
tuh aman!” kata Vanny penuh semangat menunjuk salah satu permainan mirip komedi
putar. Sedikit lebih menakutkan sih, karena kangguru-kangguru yang dinaiki
(sebenarnya lebih mirip naga, tapi vanny selalu ngotot menyebutnya kangguru)
tidak hanya berputar searah jarum jam tapi juga bergerak naik turun.
Kali ini aku
percaya. Bukan karena bujuk rayu Vanny melainkan aku melihat sendiri kebanyakan
yang naik wahana tersebut adalah anak-anak. Pastinya wahana tersebut aman,
menyenangkan dan nggak bikin jantung copot.
Hehe...
rasanya aneh berada di tengah sekumpulan anak-anak. But, this absolutly better
daripada aku harus naik hysteria lagi atau membayangkan tingginya wall clymbing
yang tadi batal kudaki.
Putaran
pertama, akhirnya aku bisa tersenyum mirip mbak-mbak reporter jelang siang.
Putaran kedua, kok tambah kenceng yaa... senyumku berubah menjadi
nyengir-nyengir nggak jelas. Putaran ketiga dan seterusnya, kangguru yang
kunaiki semakin cepat, meloncat-loncat tinggi dan tinggi sekali. Trauma
‘hysteria’ yang belum sembuh menyergapku kembali. Aku berteriak-teriak
histeris. Aku ingin melompat seketika juga dari kangguru gila ini. Aku memanggil-manggil nama ibuku, memohon
ampun pada tuhan. Tapi untung kali ini tidak sampai berderai-derai air mata.
Kangguru pun mulai
tenang. Tapi aku masih saja heboh berteriak. Untung Vanny mencolekku dan
membuatku sadar. Aku baru sadar juga, bahwa dari tadi akulah yang paling
histeris. Bahkan anak-anak di depanku tak sedikitpun kudengar mereka berteriak.
Serius!
Begitu turun
dari kangguru, anak-anak menatapku dengan pandangan aneh, begitupun ibu-ibu di
sekitar yang menunggui anak mereka.
Saat aku
berjalan meninggalkan wahana dengan rasa malu. Beberapa anak berlarian
mendahuluiku.
“Ayo, naik
lagi!” kudengar salah satu berteriak pada teman sebayanya dengan gembira dan penuh
semangat.
Hadew..
Ya, baiklah.
Kuakui aku memang sedikit payah. Tak banyak wahana permainan yang benar-benar
bisa kutaklukan. Bahkan naik mobil-mobilan saja -mobil biasa- pun tidak sepi
dari hysteria. Ketika masuk dunia lain apalagi. Sebenarnya nggak serem-serem
amat. Hebohku justru disebabkan dua teman usil, si Totong dan Ario yang rajin
colak-colek di belakang untuk menakutiku. Hantu2nya udah sering kulihat di
tv-tv, sih. Seperti pocong dan kunti. Sayangnya, hantu yang lagi populer
seperti hantu gayung dan hantu harlem shake belum ada, padahal kalau ada pengen
minta tanda tangan. Huks..
Selain itu,
masih banyak wahana menarik yang kucoba. Seperti ‘terbang’ dengan balon udara.
Di situ aku bisa melihat keseluruhan pemandangan transtudio dari atas.
Menakjubkan seperti tengah berada di dunia fantasi. Ada juga teater 4 Dimensi.
Kebetulan saat itu yang diputar adalah film avanger versi 4D. Tak hanya filmnya
yang terlihat nyata tapi juga ada efek-efek goncangan, asap, bahkan cipratan
air yang bisa kita rasakan.
Yang tak kalah
seru adalah wahana ‘Jelajah’. Bak petualang, disitu aku menaiki sebuah perahu,
memasuki goa, melihat (miniatur) suku2 pedalaman, melewati bangkai pesawat,
sampai akhirnya –ini nih yang paling nggak enak- jatuh ke air terjun yang
curam!
Aku dan
teman-teman beruntung karena sempat juga menyaksikan pertunjukan yang hanya
ditampilkan 1x setiap harinya. Kebetulan hari itu cerita hari itu adalah
tentang si bolang yang berpetualang ke dasar laut untuk menyelamatkan neneknya
yang diculik nenek sihir. Biarpun sebenarnya lebih cocok untuk konsumsi
anak-anak, tapi buatku pertunjukan ini cukup seru.
Time to back
home! Aku tidak merasa kecewa karena akhirnya, dari sekian banyak wahana ada 1
yang akhirnya bisa benar-benar kutaklukan. Namanya adalah... jeng..jeng...
‘Petualangan si bolang’. Aku hanya duduk di atas kereta lalu dibawa berkeliling
indonesia (maksudnya keliling lihat boneka-boneka lucu yang didandani dengan
pakaian-pakaian adat dari berbagai suku di indonesia). Haha.. keren kan? Keren kan?!
Ya, meskipun
seru, tapi kayaknya cukup sekali aja deh pergi ke sana. Yang penting rasa
penasaran sudah terobati. Pastinya lain
kali aku akan lebih memilih shoping daripada harus senam jantung menaiki
wahana-wahana menyeramkan.
But, apapun
itu, liburan kemarin sangat menyenangkan dan berkesan. Buat teman2 yang ikut
kemarin, I love you all, guys! Smoga kita bisa liburan bareng-bareng lagi yaa..
J
****
Komentar
Posting Komentar