Langsung ke konten utama

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

Perjalanan Seorang Ibu Baru Berdamai dengan Diri Sendiri

Butuh waktu 3 tahun sampai aku bener-bener bisa menerima peran baruku sebagai ibu. Sebelumnya, aku cukup struggle dengan segala perubahan yang terjadi. Duniaku melambat. Aku yang selama ini ambisius tiba-tiba harus kehilangan apa yang selama ini kukejar. Karier, kebebasan, penghasilan dan juga mimpi-mimpiku. Aku ngerasa useless, nggak berharga, nggak berdaya sehingga aku marah ke diri sendiri. Aku juga ngerasa bersalah karena nggak mampu membahagiakan orang-orang yang kucintai. Kondisiku ini, kalau dilihat dari skala kesadaran manusia, berada pada level terendah, lebih rendah dibandingkan perasaan sedih, di mana orang-orang bisa sampai terpikir bunuh diri, itu karena dia udah ada pada level kesadaran tersebut. Untungnya, aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal-hal yang membahayakan. Meski begitu, aku selalu dilanda kecemasan hampir setiap saat.

Desember 2021, bulan di mana anakku tepat berusia 3 tahun. Aku merasa bahwa yang terjadi denganku sudah sangat mengganggu. Sempet coba curhat ke psikolog online, malah bikin emosi. Psikolog tersebut menyarankan agar aku meluangkan waktu untuk mengerjakan hobiku. Ya kali, buat me time aja susah. Kalau punya waktu untuk ngerjain hobi, aku nggak kan se-stress ini. 

Aku pun mencoba cari sendiri berbagai metode healing dari buku dan Youtube. O iya, di bulan itu juga, tanpa rencana sebelumnya, aku bersih-bersih kamar dan decluting besar-besaran. Kupilah barang yang benar-benar ingin kusimpan, sisanya kubuang dan kusumbangkan. Meskipun capek, tapi ada perasaan lega ngelihat kamar menjadi bersih, rapi dan nggak sumpek lagi. Ternyata decluting emang jadi salah satu terapi healing yang baik. Baru decluting kamar aja udah selega itu, gimana kalau udah bener-bener "decluting" jiwa. Dari situ, aku semakin bersemangat untuk memulai perjalanan healing-ku. 

Karena niat yang kuat, semesta seperti membukakan jalan untukku. Aku dipertemukan dengan orang-orang yang menolongku.Salah satunya Pak Dedy Susuanto. Beliau adalah penulis buku dan juga praktisi di bidang psikologi. Aku tau beliau sekitar tahun 2014, dari bukunya "Pemulihan Jiwa". Beliau sering mengadakan training "Pemulihan Jiwa" ke berbagai kota. Udah lama banget aku pengen ikut training-nya. Alhamdulillah, baru kesampaian di tahun ini. 


Jauh sebelum punya anak dan duniaku jungkir balik kayak sekarang, selama ini aku sudah melewati masa yang begitu berat. Kehilangan orang tua dan harus merawat adikku yang down syndrome. Masa remajaku banyak mengalami tekanan batin. Belum lagi berbagai luka inner child yang aku sendiri nggak ingat, tapi ternyata membekas di alam bawah sadarku. Semua itu belum ter-relese dengan baik dan ternyata memberi pengaruh besar terhadap kehidupanku sekarang. 

Setelah mengikuti training, akhirnya aku bisa melepaskan bagasi berat yang selama bertahun-tahun ini selalu kubawa ke mana-mana. Bener-bener lega, ringan sampai aku takjub sendiri. 

Biasanya, tiap kali aku ngelihat langit atau jalan-jalan sendirian, sering muncul perasaan sedih dan pengen nangis tanpa sebab. Kata Pak Dedy, penyebabnya karena gudang jiwa sudah terlalu penuh, sehingga mencuri-curi celah untuk bisa keluar. Setelah ikut training, perasaan itu hilang entah ke mana. Aku masih tetep pengen nangis, tapi yang ini lebih karena haru. Karena ternyata, aku bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. 

Selain Pak Dedy, aku juga bersyukur banget dipertemukan Mbak Daissy lewat channel Youtube-nya Kunci Hidup . Awalnya aku mencari info seputar self healing dan ketemu lah channel ini. Setelah nonton beberapa videonya, aku semakin tertarik karena ternyata Mbak Daissy nggak cuma ngajari soal healing, tapi juga tentang spiritualisme dan LOA. 

Banyak banget ilmu baru yang aku dapet. Untuk pertama kalinya aku belajar mengenal Tuhan di luar kotak agama yang selama ini kuanut, yang kemudian semakin mendekatkanku dengan Tuhan. 



Ada juga penjelasan Mbak Daissy yang menjadi titik balikku. Beliau menjelaskan tentang level kesadaran manusia. Jadi, segala sesuatu di dunia ini memiliki vibrasi. Termasuk perasaan manusia. Masing-masing perasaan/emosi memiliki tingkatan vibrasi yang berbeda-beda. Itulah yang dimaksud dengan level kesadaran manusia. 



Semakin positif perasaan kita, semakin tinggi vibrasi nya. Sebaliknya, semakin negatif perasaan kita, semakin rendah vibrasinya. Sebagaimana disebutkan dalam LOA, "Kita menarik hal-hal yang sevibrasi dengan kita." Hal-hal positif memiliki vibrasi tinggi,  sementara hal-hal negatif memiliki vibrasi rendah. Jika perasaan kita positif, kita akan menarik hal-hal positif. Begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, kualitas hidup kita sangat ditentukan oleh level kesadaran kita.

Sebenernya ilmu LOA bukan hal yang baru buatku, tapi penjelasan dari mbak Daissy paling detail dan ngena buatku.

Dari sini aku sadar bahwa jika pikiran-pikiran negatif kuteruskan, maka yang rugi aku sendiri, karena aku akan terus terjebak dalam hal-hal negatif. Apapun kondisiku saat ini, aku belajar untuk lebih banyak bersyukur, karena dengan bersyukur vibrasiku bisa naik sehingga aku dapat lebih mudah menarik hal-hal positif dalam hidupku. 

Aku excited banget karena beberapa bulan yang lalu Mbak Daissy membuka kelas MMM (Manifestation Mindset Masterclass) Walaupun, waktu itu aku masih mikir-mikir juga mau daftar atau enggak, mengingat biaya pendaftarannya nggak sedikit. Tapi alhamdulillah, ada rejeki yang datang nggak kusangka-sangka. Mungkin ini memang jalannya dari Tuhan agar aku ikut kelasnya Mbak Daissy. 

Meski bahasan utamanya tentang manifestasi, lebih dari itu, aku banyak menemukan jawaban dari pertanyaanku selama tiga tahun terakhir. (Gabung kelas MMM Manifestation Mindset Masterclass di sini

Ternyata, selama ini niatku salah. Aku berusaha mengejar ini itu, didasari oleh rasa insecure. Bertahun-tahun hidup dari belas kasihan orang lain membuatku rendah diri, merasa tidak layak sehingga aku butuh pengakuan dari orang lain, baru aku bisa merasa percaya diri. Aku berusaha mengejar prestasi agar aku merasa berharga. Padahal, itu adalah kepercayaan yang salah. Ada atau tidaknya pengakuan dari orang lain. Ada atau tidaknya gelar, jabatan atau apapun yang melekat dalam diri kita, semua diciptakan Tuhan berharga dan sempurna. Itu sudah cukup. 

Ternyata, Tuhan menghilangkan semua agar aku memperbaiki niatku. Insecure dan perasaan tidak layak memiliki vibrasi rendah. Ketika aku "menarik" keinginanku, sama artinya aku juga menarik hal-hal yang bervibrasi rendah atau hal negatif. Bisa saja keinginanku terwujud, tapi mungkin akan banyak masalah di kemudian hari. 

Sekarang aku sudah bisa kembali. Masih dengan mimpi yang sama, namun dengan niat dan tujuan yang berbeda. Aku fokus memandang tujuanku dari kacamata cinta. Ingin membahagiakan keluarga, ingin memberikan inspirasi kepada orang banyak lewat karyaku. 

Salah satu hal terberat juga selama ini, karena aku berusaha "melawan arus", controling. Aku merasa aku harus bekerja keras dan merasa bersalah ketika nggak bisa produktif. Padahal waktu itu aku harus ngurus bayi 24 jam, di mana untuk memenuhi kebutuhan dasarku aja sulit. Ketika semua berjalan tidak sesuai rencana, aku bisa sangat stess. Itu yang bikin aku nggak bisa mindful ketika membersamai anak. Karena pikiranku penuh dengan berbagai rencana yang tertunda. 

Setelah ikut kelasnya Mbak Daissy, aku jadi tau bahwa untuk mewujudkan mimpi nggak selalu harus selalu ngoyo. Tergantung pikiran kita, kalau kita meyakini bahwa untuk mencapai sesuatu itu harus dengan kerja keras, banting tulang siang malam, ya itulah yang terjadi. Begitupun sebaliknya. Kalau kita mikirnya mudah, ya akan dimudahkan tanpa harus ngoyo. Meskipun keadaanku terbatas, setidaknya ada hal penting yang bisa kuupayakan: merubah pikiran dan perasaan untuk  lebih positif. Fisik boleh kerja keras, tapi hati harus tetep berserah, dibawa santai, dibawa enjoy. Kita mengerjakan bagian kita, semampu kita, selebihnya serahkan pada Tuhan. Tidak perlu berkeras ingin mengontrol segala sesuatunya karena justru perasaan itu berakar dari rasa takut sehingga akan menjatuhkan kita pada vibrasi rendah. Yakin Tuhan selalu mengiringi langkah kita dan percaya pada kekuatan Tuhan. Kalaupun keinginan kita tidak tercapai, berarti ada rencana Tuhan yang lebih baik. 

Kalau ngelihat ke belakang, aku jadi mikir. Ternyata sesayang itu Tuhan sama aku. Diajak muter-muter dulu, dibikin galau, dibikin bingung, sampai pada suatu titik aku bisa ngerti. Oh ini toh, maksud Tuhan selama ini. Tuhan mau ngasih tau ini. 

Mungkin sebelumnya kita udah sering baca kata-kata bijak di buku atau medsos. Tapi ketika ngalami sendiri peristiwanya, kita akan dapat pemahaman yang jauh berbeda, yang lebih mendalam, lebih powerful untuk merubah hidup kita ke arah yang lebih baik. 

Menjadi ibu adalah salah satu anugerah terbaik dalam hidupku. Banyak banget pelajaran berharga yang aku dapet setelah menjadi ibu. Kalau nggak ada trigger tiga tahun terakhir ini, mungkin aku nggak akan membereskan trauma-trauma masa lalu. Mungkin aku nggak akan bisa melihat dunia dengan perspektif baru seperti sekarang. Ibaratnya bayi yang baru lahir. Harus melewati lorong gelap dan sempit untuk bisa melihat cahaya. Tuhan memberikan ujian, untuk mempersiapkan kita pada kondisi yang lebih baik. Kalau inget itu semua rasanya nggak habis-habis rasa syukurku. 

Komentar

  1. Menginspirasi ka💪🏻🤗terap semangat

    BalasHapus
  2. Feel you mbaa. Aku pernah juga di posisi itu. Merasa ga siap jadi ibu, kena baby blues parah, tapi untungnya aku ada support system dari suami dan babysitter anak2 yg masih setia sampe skr. Mereka yg handle si babies pas aku lagi parah2nya ga mau nyentuh mereka sampe bbrp bulan.

    Tapi skr, sadar sih, kalo anak2 memang anugrah, bukan beban. Butuh waktu lama utk bisa sadar itu. Salah satunya Krn pandemi. Aku memutuskan resign, dan akhirnya JD Deket Ama mereka :).

    Terkadang tuhan memang ga mau langsung memberikan apa yg kita mau. Dia mau kita belajar supaya paham, saat apa yg diminta akhirnya dikasih.

    BalasHapus
  3. Hai mbaa...I feel you. Bahkan sampai skrg, ketika anak pertamaku sudah pre teen dan yg kedua 8 tahun, aku masih up and down. Terutama karena dulu aku smpat mikir childfree, jadi butuh effort banget utk menikmati peran sbg ibu.

    BalasHapus
  4. Aku juga merasakan saat anak pertama harus tinggal di desa jauh2 kemana2. Untungnya bisa segera usaha buat keluar dari rasa ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

Kota Mini Lembang, Destinasi Wisata Instagramable yang Nggak Sekedar buat Foto-Foto Cantik

Tempat wisata di Lembang emang nggak pernah ada habisnya. Belum tuntas mengunjungi satu tempat wisata, udah bermunculan lagi tempat wisata lain yang tentunya menambah daftar panjang keinginan untuk main ke Lembang. 

Review Softlens New More Dubai (Honey Brown)

Sebagai penderita mata minus aku jarang banget memakai softlens. Aku lebih memilih pakai kacamata untuk sehari-hari karena nggak ribet, dan hanya memakai softlens untuk event tertentu saja seperti kondangan atau acara spesial lain. Kebetulan bulan ini banyak banget undangan nikahan. Jadi aku memutuskan untuk beli softlens lagi. Walau hanya perintilan kecil aku ngerasa ini ngaruh banget untuk penampilanku keseluruhan. Meski baju dan dandanan udah cantik, kalau pakai kacamata tuh rasanya kurang perfect aja gitu.