Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ). Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢 Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤠Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu. Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi ...
Greget banget, nih, pengen nulis
review film Ayat-ayat Cinta 2. Bukan karena excited dengan filmnya tapi karena
ini adalah film paling ngeselin sepanjang sejarah aku nonton di bioskop (Selain
AADC 2 tentu saja). Dari awal aku emang
nggak terlalu berharap pada film ini. Ini jenis film untuk jualan bukan film festival yang selalu bikin aku
berekspektasi lebih. Berbekal cerita dari film Ayat-Ayat Cinta 1, akupun memutuskan untuk nonton sequelnya. Dalam benakku, ya kurang lebih akan sama seperti
film pertamanya, lah. Ternyata eh ternyata, masih kalah jika dibanding dengan film pertamanya. Dan
aku nggak menyangka juga ceritanya akan seabsurd ini.
Dalam film fantasi sekalipun,
pembuat cerita dituntut mampu menghadirkan logika-logikanya sendiri untuk mendukung
suatu adegan sehingga penonton bisa percaya dengan apa yang diceritakan.
Sayang, aku nggak menemukan hal ini dalam film Ayat-Ayat Cinta 2. Banyak banget
hal-hal nggak rasional dalam film ini, Sehingga walaupun ada adegan yang sangat
dramatis dan menyedihkan tapi emosinya tidak sampai ke aku. Tidak ada satu
adeganpun yang berhasil membuatku nangis (Padahal aku ini terkenal cengeng
banget yang bisa nangis oleh hal-hal kecil). Anehnya ada juga cewek yang nangis di sebelah
aku pas adegan sedih. Rasanya jadi pengen ketawa, tapi aku tahan.
O iya, sebelumnya aku akan cerita
synopsis singkat film ini. Bagi yang belum nonton, sebaiknya nggak usah baca.
Kecuali kalian tipe orang yang justru penasaran kalau diceritakan alurnya sampe
ending. Ini adalah lanjutan kisah dari Ayat-ayat cinta 1 tentang perjalanan
kisah cinta Fahri dan Aisha. Aisha dikabarkan hilang ketika menjadi relawan di
Palestina dan sampai saat ini belum ketemu. Sementara Fahri di tengah
kesedihannya kehilangan Aisha tetap melanjutkan kehidupannya, bekerja sebagai
pengajar di salah satu universitas di Edinburg, Skotlandia. Seperti halnya
ayat-ayat Cinta 1, Fahri ini begitu digilai oleh wanita-wanita di
sekelilingnya. Mulai dari mahasiswa bulenya (diperankan Millane Fernandez),
karyawan mini market tempat ia bekerja, Hulya, keponakan Aisha (diperankan oleh Tatjana Saphira), Keira,
tetangga Fahri yang diperankan Chelsea Islan, dan Sabina (Pembantu yang bekerja
di rumah Fahri, diperankan oleh Dewi Sandra) Hampir semua cewek itu memiliki
kesamaan, cantik dan agresif (Oh, God!)
Pada adegan-adegan awal, aku
seperti sedang mendengarkan penjelasan guru PPKN. Pesan moral dijejalkan kepada
penonton dengan sangat kentara. Karakter Fahri digambarkan sebagai sosok yang
sempurna layaknya Nabi. Ia seperti superhero yang selalu menolong siapapun yang
membutuhkan. Tidak peduli apapun suku, ras dan agamanya. Bahkan ia juga berbuat
baik kepada orang yang telah jahat kepadanya. Nggak ada yang salah dengan
berbuat baik. Tapi yang ini udah ketinggian
levelnya dan nggak masuk logika. Ia membantu Nenek Catarina, seorang Yahudi
yang diusir dari rumah oleh anak tirinya sendiri. Fahri lalu membeli rumah yang
telah dijual anak tirinya tersebut agar dapat ditinggali lagi oleh Nenek
Catarina. Ia juga membantu Keira, tetangga Fahri yang sangat berbakat dalam
memainkan biola. Namun ayahnya meninggal karena serangan teroris sehingga Keira
terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah musiknya. Fahri menyelamatkan Keira yang
sempat berniat menjual diri dalam sebuah acara lelang. Fahri lah yang
memenangkan lelang tersebut dan membayar dengan harga tinggi. Tak sampai di
situ, ia kemudian mendatangkan pelatih biola secara diam-diam agar Keira dapat terus
mengasah bakat bermusiknya. Adik Keira juga pernah ditolong oleh Fahri. Ketika
itu ia ketahuan mencuri di mini market milik Fahri. Bukannya melaporkan ke
polisi, Fahri justru mempersilakan adik Keira tersebut untuk mengambil apa saja
yang ia inginkan di mini market. Padahal sejak awal sudah diceritakan bahwa
Keira dan adiknya sangat benci kepada Fahri. Setiap bertemu Fahri mereka selalu
memaki dan menuduhnya teroris. Tak hanya itu, Fahri juga banyak membantu
mempekerjakan buruh-buruh illegal. Beberapa diantaranya adalah Hulsi, mantan
preman dari Turki (Diperankan Panji Pragiwaksono) dan Sabina, gelandangan yang
selalu kucing-kucingan dengan polisi. Mereka ditampung di rumah Fahri sebagai
asisten rumah tangga. Pertanyaan pertama, aku nggak habis pikir, seberapa
banyak kekayaan Fahri hingga dengan entengnya mengeluarkan uang begitu banyak
untuk membantu orang lain? Sementara di film hanya diceritakan ia seorang pengajar
di universitas dan pemilik mini market.
Itu baru awal loh ya. Masih
banyak kejanggalan yang terjadi. Kejanggalan paling menonjol adalah dialognya.
Setting cerita ini ada di Eropa, namun bahasa yang digunakan bahasa campur aduk
antara Inggris dan Indonesia. Tadinya kupikir memang Fahri sedang mengajar di kelas
bahasa Indonesia tapi ternyata tidak. Tetangga di lingkungan tempat Fahri
tinggal juga menggunakan bahasa campur aduk itu. Padahal mereka berasal dari
berbagai negara. Okey., mungkin tujuannya agar penonton lebih mudah memahami
dialog, tapi menurutku akan lebih real kalo dialognya pakai bahasa inggris
semua, atau malah sekalian bahasa Indonesia semua biar nggak rancu. Ada 1 point
plus sih, yang harus kuakui tentang dialog ini. Seperti umumnya film yang
diangkat dari novel, biasanya dialognya menggunakan dialog buku yang tidak umum
dipakai di kehidupan sehari-hari. Namun para tokoh dalam film ini mampu
menghidupkan dialog-dialog tersebut sehingga tidak terkesan kaku dan maksa. Nggak
kayak ceritanya. Disana sini masih ada adegan yang maksa. Seperti ketika di
sebuah cafe Fahri tidak sengaja bertemu dengan anak tiri nenek Catarina. Kita
nggak tau gimana latar belakangnya orang tersebut, tiba-tiba ngaku kenal dengan
dosen-dosen di Edinburhg dan nantang Fahri untuk debat. Dari sikap emosional
dan kasar yang sudah ditunjukan sebelumnya, akan lebih pantas jika ia langsung
memukuli Fahri. Bukannya malah tiba-tiba ngajak debat. Hadeehh..
Dan forum debat yang dimaksud juga
tidak seperti debat pada umumnya. Fahri hanya menyampaikan beberapa quotes
orang yang ia kutip. Padahal diceritakan sebelumnya Fahri begitu giat membaca
bertumpuk buku untuk mempersiapkan debat itu. Kalau mau, moment itu adalah kesempatan
bagus untuk membahas isu yang sedang happening sekarang secara lebih mendalam.
Tentang Palestina, tentang Islam yang dituduh sebagai teroris. Sayang, moment
itu hanya terlewat begitu saja.
Ada lagi adegan dimana Kiera
akhirnya sukses menjadi pemain biola. Di salah satu acara tv dia mengatakan
sangat berterima kasih kepada ‘malaikat’ yang telah mengirimkan guru untuk melatihnya
bermain biola. Yang bikin geli, tiba-tiba di situ Kiera mengatakan apabila ‘malaikat’
itu perempuan maka akan dijadikan saudara, bila dia laki-laki, berapapun
umurnya akan dia jadikan suami. What? Come on. Ini udah bukan jaman negeri
dongeng. Keira sangat cantik, pintar dan berbakat. Kok bisa-bisanya kepikiran
hal semacam itu. Banyak cara lain yang bisa dilakukannya untuk berterimakasih. Yang
bikin tambah geli Keira akhirnya datang ke rumah Fahri untuk berterimakasih. Di
situ dia dia baru tahu bahwa orang yang selama ini dibencinya itulah yang telah
menolongnya. Tanpa pikir panjang ia langsung memohon untuk minta dinikahi.
Padahal di situ ada Hulya, istri Fahri yang sedang hamil besar.
Klimaks dari film ini adalah
ketika identitas Sabina terkuak. Ternyata ia adalah Aisha, istri Fahri yang
selama ini dicari-cari. Ia memilih untuk tetap menyembunyikan identitasnya demi
kebahagiaan Fahri. Ternyata saat di Palestina, Aisha tertangkap oleh tentara
Israel. Demi menjaga kehormatannya, ia merusak wajah dan alat vitalnya sendiri
(Nggak adakah alternative lain, its too sadistic untuk dipertontonkan) Di
adegan lain lagi-lagi Aisha melukai dirinya sendiri. Ia sengaja membakar kedua
telapak tangannya ketika Fahri akan membantunya mengurus identinitasnya dengan
berbekal sidik jari (sadis banget L).
Setelah kejadian di Palestina, Aisha
merasa bukan lagi wanita seutuhnya. Karena itulah ia tetap menyembunyikan
identitasnya dan membiarkan Fahri menikahi Hulya. Semula aku menduga, bahwa
Aisha sudah menjalani operasi plastik sebelumnya sehingga mukanya berubah 100% hingga
wajar jika tidak dapat dikenali. (Sampai-sampai pemainnya pun diganti dari yang
tadinya Rianti Catwright menjadi Dewi Sandra .Masih inget banget, kayak
sinetron bidadari, si Marshanda disiram air keras, lalu perannya digantikan
oleh Angel Caramoy). Ternyata dugaanku salah, dalam film ayat-ayat cinta 2
diceritakan bahwa Dewi Sandra memang sejak awal sudah menjadi Aisha. Dari sini
aku kembali bertanya-tanya, apakah Fahri dan Hulya begitu rabun sampai nggak
bisa mengenali Aisha? Dari bentuk tubuh, gesture, suara harusnya bisa dikenali.
Apalagi sejak menikah Aisha memang sudah memakai cadar.
Saat aku sudah lelah dengan semua
kejanggalan film ini dan pengen buru-buru kabur dari bioskop muncul 1 kejutan
yang wow banget. Ketika di pom bensin tiba-tiba Hulya dan Aisha bertemu dengan
salah satu penjahat, musuh Fahri dalam ayat-ayat Cinta 1. Di situ tiba-tiba
Aisha malah berteriak menyebut nama penjahat itu. Anehnya si penjahat langsung
mengenali Aisha (Sementara Fahri dan Hulya yang dekat dengannya justru tidak
bisa mengenalinya). Seperti yang sudah bisa ditebak. Perkelahian pun tak terhindarkan.
Hulya yang menjadi korbannya. Dia tertusuk pisau di bagian dada. Bayi di
kandungan Hulya terpaksa harus dikeluarkan melalui operasi cesar. Bayinya selamat, namun nyawa Hulya tidak tertolong. Pada
saat bersamaan identitas Aisha akhirnya terungkap.
Sebelum kulanjutkan, ada sedikit
adegan yang bikin gatel kalau nggak kuceritain. Ketika di ruang perawatan,
sesaat sebelum Hulya meninggal, Aisyah melepas cadarnya, tak berapa lama ada
dokter lelaki masuk namun Aisha tidak segera menutup wajahnya lagi. (Ya
baiklah, maklumin aja. Mungkin sangking shocknya si Aisha karena Hulya meninggal,
jadi dia lupa nutup cadarnya).
Sesuai permintaan Hulya sebelum meninggal,
Aisyah pun menjalani operasi pengangkatan wajah. And guess what?? Wajahnya
diganti dengan wajah Hulya. Di situ digambarkan bagaimana muka Hulya dilepas kayak
topeng trus ditaruh di meja yang berisi ‘semacam’ es batu gitu trus ditempel ke
muka Aisha. Lalu... taraaaa... muka Hulya
sudah berpindah di muka Aisha. Mulus tanpa bekas jahitan sama sekali. Is that
true? Seperti itukah prosedur operasi face off? Yang jelas adegan ending itu semakin
mengukuhkan Ayat-Ayat Cinta sebagai film terabsurd yang pernah kutonton.
Sayang, padahal aspek pendukung
film ini udah keren banget. Mulai dari akting para pemainnya, setting lokasinya
(termasuk tone warna yang dipilih cukup membuatku terkesan), sinematografi, kostum,
musik dan penyanyi. Eh, mungkin kalau dijadikan sinetron malah bagus kali, ya. Unsur
keabsurdannya dapet banget. Haha.. Tapi udah deh, cukup sekali ini aja aku
nonton film ini.
Wkwkwkwk aku baca ini jadi pengen ketawa kak, dulu nonton aac 1 jaman sma sih belum baca novel aac 2 juga
BalasHapusHihii.. Aq nyesel nonton, masih bagusan aac 1 lah pkoknya
Hapus