Langsung ke konten utama

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😒  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🀭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

My Wedding Story


Finnaly i got married! Sebenarnya target menikahku sudah lewat beberapa tahun lalu. Jadi di tahun 2017 aku justru tidak begitu memikirkan target menikah lagi. Aku sudah berada di titik paling lelah untuk berharap. Hubunganku dengan Totong sudah berjalan selama 12 tahun, sejak kami sama-sama masih duduk di bangku SMA. Namun sampai saat itu Totong belum juga memberikan kepastian tentang tentang kelanjutan hubungan kami. Aku sudah pasrah dan hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik, di waktu yang tepat menurutNya. Aku mencoba menikmati hidup yang saat itu sedang kujalani. Berkumpul bersama teman-teman, menikmati pekerjaanku. Toh, nantinya kalau sudah menikah belum tentu aku bisa seperti itu. Tapi siapa sangka, Tuhan sudah menyiapkan rencana lain. Di tahun tersebut kejutan demi kejutan manis kudapatkan.


27 Februari 2017
Hari itu tepat hari ulang tahunku yang ke-27. Aku mendapat sebuah kiriman bunga dari Totong yang dialamatkan ke kantorku. Ini adalah moment pertama kalinya ia memberiku bunga. Ini juga moment pertama, akhirnya aku sadar dibalik sikap cueknya selama ini ternyata Totong sungguh-sungguh mencintaiku. (Baca: http://isykasyukriya.blogspot.co.id/2017/12/talk-about-relationship.html#more )

Karena kesibukan kerja, kami baru bisa bertemu di akhir pekan untuk merayakan ulang tahunku. Kami memilih sebuah cafe di daerah Ranca Kendal, Bandung untuk makam malam berdua. Di situlah, ketika akan pulang, tiba-tiba Totong mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya padaku. Rasanya terharu dan hampir nggak percaya. Aku dilamar! Memang nggak dengan perkataan langsung. Dia hanya mengatakan, bahwa dia menitipkan cicin itu untuk maharku nanti.


Rupanya selama ini diam-diam dia sudah mempersiapkannya. Hanya saja ia menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya denganku. Sejak hari itu, Totong mulai terbuka. Rasanya aneh, kami biasa ngobrol ngalor ngidul tentang sekolah, tugas kampus, kerjaan kantor sekarang tiba-tiba jadi sering ngomongin rencana pernikahan.

Hari ketiga setelah lebaran Totong datang ke rumah bersama keluarganya. Di luar perkiraanku, niat yang tadinya hanya untuk perkenalan keluarga, ternyata dia langsung melamarku hari itu juga. Aku merasa Tuhan begitu mendukung kami. Segala sesuatu dia permudah. Keluargaku langsung setuju. Malah kami diminta untuk tidak menunda-nunda pernikahan.



17 Juli 2017
Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Sebulan sesudah lamaran, aku dan Totong kembali pulang ke Jogja untuk mengurus segala keperluan pernikahan kami. Hari itu, rencananya kami akan fitting baju dan rapat dengan WO. Keluarga dari kedua belah pihak juga hadir.

Saat itulah ibu menyampaikan keinginannya, ehem., lebih tepatnya 'memaksa' kami untuk menikah secara siri hari itu juga. Alasannya agar kami bisa leluasa mengurus segala persiapan pernikahan kami berdua. Selain itu agar kedua orang tua kami lebih tenang melepas kami ke Bandung lagi. Sebenarnya bukan hal aneh di keluargaku. Orang tuaku adalah penganut Islam yang taat. Prinsipnya adalah, jika ada pasangan yang sudah serius ingin menikah, lebih baik disegerakan, meski baru dengan pernikahan siri. (Karena untuk menikah secara resmi negara pasti membutuhkan waktu yang lebih lama. Belum lagi kalau pakai acara resepsi) Tapi tetap saja, rasanya seperti kesambar petir di siang bolong. Tentu aku ingin menikah dengan Totong. Tapi tidak dengan cara dipaksa dan mendadak begini.

Aku sudah pasrah. Selama ini, aku sudah banyak berhutang budi kepada orangtuaku. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menuruti permintaan mereka. Sekarang semua keputusan ada di tangan Totong. Aku tahu tidak mudah baginya. Apalagi ia baru diberitahu setelah sampai di rumahku, beberapa menit sebelum akad berlangsung! Tapi lagi-lagi Totong menunjukan kesungguhannya Ia menyanggupi permintaan kedua orangtuaku. Dengan wajah tegang, ia mengucapkan ijab kabul di depan keluarga kami. Cincin yang dia berikan di hari ulang tahunku menjadi maharnya.

Acara ijab kabul berlangsung sederhana
Jika orang lain berdebar-debar menjelang hari pernikahannya, maka tidak denganku. Aku bahkan tidak merasakan kesakralan pernikahanku sendiri. Bayangkan saja bagaimana rasanya tiba-tiba didorong dari air terjun yang tinggi, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan. Tapi bukan berarti aku tidak bahagia. Bahagia baru muncul perlahan-lahan setelah aku menyadari aku sudah menikah.

Teman-teman kantorku belum ada yang tahu tentang pernikahanku. Hanya pada seorang teman aku bercerita. Aku tidak tahu bagaimana cara mengumumkannya pada teman-temanku. Aku sendiri masih merasa aneh dan tidak percaya dengan pernikahanku sendiri. Dua hari sebelumnya aku hanya ijin pada atasan untuk pulang ke Jogja mengurus surat-surat nikah. Sekarang aku kembali ke Bandung sudah dengan status yang berbeda. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang tentang diriku. Apalagi selama ini menikah siri dipandang tabu oleh masyarakat. Yang penting aku tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama.

Lucunya setelah menikah kami tetap tinggal sendiri-sendiri. Orang tua menyarankan sebaiknya aku jangan hamil dulu sebelum resmi nikah secara negara. Karena kalau nanti punya anak, akan susah mengurus administrasinya. Aku sendiri masih ingin memuaskan diri untuk me time, begitupun dengan suami. Kami sama-sama tidak keberatan tinggal masing-masing dulu. Jadilah awal-awal pernikahan kami jalani dengan 'LDR'.

10 September 2017
Selanjutnya kami disibukan dengan persiapan pernikahan. Kami sepakat untuk membuat pesta resepsi yang sederhana dengan tidak mengundang banyak orang. Bagi kami yang terpenting adalah kehidupan setelah menikah. Lagipula, daripada menghabiskan uang untuk resepsi, mending digunakan untuk honeymoon.

Meski sederhana dan ada WO yang membantu, ternyata prakteknya tidak sesimple yang kami bayangkan. Apalagi kami harus mengurusnya dari jauh, Bandung-Jogja. Beberapa juga kami persiapkan sendiri, seperti undangan, dan souvenir.

Waktu 3 bulan berlalu begitu cepat. Tibalah hari pernikahan kami. Untuk kedua kalinya Totong kembali mengucapkan ijab kabul. Kali ini dihadapan penghulu dan dengan disaksikan para tamu undangan. Kamipun resmi menikah secara negara.


Acara kemudian berlanjut dengan resepsi dan boyongan di hari yang sama hingga sore harinya. Semua berjalan lancar. Rasa lelah dari pagi (bahkan sejak beberapa hari sebelumnya) pun tergantikan dengan perasaan lega dan bahagia. 






Sebenarnya aku pengen cerita awal perjalananku dengan Totong hingga sekarang. Ada banyak hal menarik yang kami lewati bersama. Tapi sabar dulu ya. Aku pengen menceritakannya dalam bentuk buku nantinya, sekarang masih on progress. Doain yaa.., mudah-mudahan bisa selesai tahun ini... amiiin.

Komentar

  1. Aamiin, subhanallah kak aku terharu bacanya 😍selamat ya bahagia dunia akhirat 😍

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😒  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🀭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

Kota Mini Lembang, Destinasi Wisata Instagramable yang Nggak Sekedar buat Foto-Foto Cantik

Tempat wisata di Lembang emang nggak pernah ada habisnya. Belum tuntas mengunjungi satu tempat wisata, udah bermunculan lagi tempat wisata lain yang tentunya menambah daftar panjang keinginan untuk main ke Lembang. 

Review Softlens New More Dubai (Honey Brown)

Sebagai penderita mata minus aku jarang banget memakai softlens. Aku lebih memilih pakai kacamata untuk sehari-hari karena nggak ribet, dan hanya memakai softlens untuk event tertentu saja seperti kondangan atau acara spesial lain. Kebetulan bulan ini banyak banget undangan nikahan. Jadi aku memutuskan untuk beli softlens lagi. Walau hanya perintilan kecil aku ngerasa ini ngaruh banget untuk penampilanku keseluruhan. Meski baju dan dandanan udah cantik, kalau pakai kacamata tuh rasanya kurang perfect aja gitu.